Dewasa ini, semua sendi kehidupan perekonomian kita tidak bisa terlepas dari riba. Sistem riba dengan konsep bunga sebagai senjatanya terus menerus masuk ke dalam sendi investasi dan bisnis. Riba seperti pisau bermata dua, di satu sisi banyak yang mencari keuntungan darinya, di sisi lain banyak yang dirugikan karena ketidakadilannya. Riba ada di transaksi jual beli, pinjam meminjam, perbankan, dan lain sebagainya. Apakah Anda telah mengenal lebih mendalam tentang riba? Mari kita mengenal dan mengerti riba lebih baik lagi. Tulisan kali ini akan menguraikan secara singkat dan mendalam tentang riba.
Secara bahasa, riba adalah sesuatu yang lebih, bertambah, dan berkembang. Allah SWT berfirman, “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar Ruum : 39).
Maksud ayat ini, setiap harta yang diambil karena riba dengan tujuan agar harta mereka bertambah dan berkembang justru akan dikurangi oleh Allah. Tidak aka ada berkah pada hartanya.
Definisi Riba Menurut Ulama Syafi’iah
Menurut ulama fikih kalangan Syafi’iah, riba adalah bentuk transaksi dengan cara menetapkan pengganti tertentu (‘iwadh makhshush) yang tidak diketahui kesamaannya (dengan yang ditukar) dalam ukuran syar’i pada saat transaksi, atau disertai penangguhan terhadap kedua barang yang dipertukarkan ataupun terhadap salah satunya.
Maksud ‘iwadh makhshush adalah harta riba itu sendiri. Maksud tidak diketahui kesamaannya adalah melebihkan nilai salah satu barang yang dipertukarkan dari yang lainnya. Maksud ukuran syar’i adalah nilai takaran saat menimbang. Disyaratkan harus diketahui saat transaksi adalah suatu sikap hati-hati, jangan sampai kesamaan dari dua barang yang dipertukarkan baru diketahui setelah proses akad. Sebagai contoh, setumpuk gandum ditukar dengan setumpuk gandum yang lain, tetapi tidak diketahui ukurannya pada saat akad. Maka yang demikian termasuk transaksi ribawi. Adapun yang dimaksud dengan penangguhan terhadap kedua barang yang dipertukarkan ataupun terhadap salah satunya adalah tidak terjadi serah terima barang oleh kedua belah pihak yang bertransaksi pada saat transaksi berlangsung atau ada syarat penangguhan dalam akad.
Definisi Riba Menurut Ulama Hanafiah
Menurut ulama Hanafiah, riba adalah nilai lebih yang tidak ada pada barang ditukar, berdasarkan ukuran syar’i yang dipersyaratkan kepada salah satu pihak, yang berakad pada saat transaksi.
Nilai lebih adalah tambahan, baik bersifat haqiqi maupun hukmi. Contoh nilai lebih yang bersifat haqiqi adalah seseorang yang menjual sekilo gandum dengan dua kilo gandum. Sedangkan, hukmi dilakukan dengan cara mengulur waktu penukaran. Contoh, seseorang menjual sekilo gandum dengan sekilo gandum yang sama, dan baru akan dibayarkan kemudian.
Adanya tambahan tidak termasuk jenis riba, kecuali jika dipersyaratkan. Apabila salah seorang yang berakad memberikan tambahan bukan karena dipersyaratkan, hal ini tidak termasuk riba. Disebutkannya ‘iwadh (pengganti) dalam kedua definisi riba di atas menunjukkan bahwa hal itu hanya terjadi pada akad transaksi. Jika seseorang memberikan barang kepada orang lain, lalu orang yang diberi menggantinya dengan barang yang sama, namun dalam jumlah yang lebih banyak, tambahan itu tidak termasuk riba.
Pemberian (hibah) pada hakikatnya tidak ada dalam akad transaksi. Biasanya, orang yang menerima hibah akan mengganti sesuatu yang telah diterimanya kepada si pemberi dalam bentuk materi. Hanya saja, dimasukkannya hibah dalam kategori akad transaksi karena umumnya orang yang memberi hibah akan mendapatkan pengganti. Pengganti tersebut biasanya dalam bentuk maknawi, seperti hubungan silaturahmi atau ikatan batin yang semakin kokoh.
Jenis-jenis Riba dan Hukumnya
Pada umumnya, ketika para ulama fikih membahas permasalahan transaksi ribawi, mereka berbicara seputar jual beli harta-harta ribawi yang satu dengan lainnya. Pembahasannya bisa ditinjau dari segi adanya penambahan pada salah satu barang yang dipertukarkan. Selain itu, bisa dari segi ada tidaknya penangguhan dalam proses transaksi seperti diketahui pada definisi riba yang telah dijelaskan di atas.
Ulama fikih membagi riba menjadi beberapa macam:
1. Riba al-fadhl atau bunga tambahan yaitu menukar harta yang berpotensi riba dengan jenis yang sama disertai adanya penambahan pada salah satu barang yang dipertukarkan. Contohnya, 100 gram emas ditukar dengan 110 gram emas yang sejenis, bisa kurang atau bisa juga lebih dari itu.
Riba jenis ini adalah tambahan yang jelas dan nyata. Praktik riba jenis ini diharamkan dan dilarang dalam hukum Islam. Hal ini tertera dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari.
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy ra. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sebanding dan janganlah kalian menambah bagian yang satu atas bagian lainnya. Jangan pula kalian menjual uang dengan uang kecuali nilainya sebanding dan janganlah kalian menambah bagian yang satu atas lainnya.”
Dalam hal ini, bagus atau jeleknya kualitas barang tidak menjadi pertimbangan berdasarkan keumuman. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian menambah sebagiannya atas yang lain.” Proses pembuatan tidak menjadi perhitungan dalam hal ini. Jika seseorang menukar emas yang dicelup dengan emas yang dicetak, timbangan kedua barang tersebut harus sebanding. Tidak ada yang boleh rendah timbangannya atas yang lain. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Dan janganlah kalian menukar uang dengan uang, kecuali sebanding.”
2. Riba Al-Nassa’I (nasi’ah) atau penangguhan pembayaran, yaitu jual beli harta ribawi dengan harta ribawi lain yang pada keduanya terdapat ‘illat (sebab hukum) yang sejenis, dengan pembayaran yang ditangguhkan. Dalam konteks ini, tidak ada bedanya kedua barang yang dipertukarkan itu dari jenis yang sama atau berbeda dan jumlah keduanya sama atau tidak.
Contoh, seseorang yang menjual satu gram emas dengan satu gram emas atau perak yang ditangguhkan pembayarannya hingga satu bulan. Transaksi seperti ini diharamkan dalam hukum Islam karena pada hakikatnya terdapat unsur riba meskipun tidak terlihat jelas, yaitu terjadi “penambahan” waktu pembayaran (dari jangka waktu seharusnya).
Larangan ini ditunjukkan dalam sabda Rasulullah saw. dalam hadits dari Abu Sa’id yang perama, “Dan janganlah kalian menjual barang ga’ib dengan najiz.” Ga’ib adalah barang yang masih ditangguhkan penyerahannya, sedangkan najiz adalah barang yang telah ada.”
Kedua jenis riba ini disepakati oleh para ulama Syafi’iah dan Hanafiah. Namun, ulama Syafi’iah menambah satu macam lagi, yakni riba al-yad.
3. Riba Al-Yad, yaitu menukar harta ribawi dengan harta ribawi lain yang memiliki ‘illat (sebab hukum) serupa tanpa dipersyaratkan adanya penangguhan pembayaran, namun terjadi penangguhan serah terima kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya dari waktu transaksi berlangsung.
Argumentasinya disandarkan pada hadits Umar ra., “Kecuali ambillah yang ini dan ambillah yang ini!” Hal ini menunjukkan wajibnya serah terima (barang yang dipertukarkan) pada saat transaksi berlangsung. Sementara, ulama Hanafiah menganggap jenis riba ini adalah jual beli sempurna yang tidak berpotensi terkena riba karena penangguhan tidak dipersyaratkan.
Sehingga, ulama Hanafiah dan Syafi’iah menyepakati pembagian riba ke dalam dua jenis, yakni riba al-fadhl dan riba al nassa’i. Riba jenis pertama (al fadhl) adalah riba yang padanya terdapat tambahan jumlah pada salah satu barang yang dipertukarkan dalam jual beli sempurna. Sementara itu, riba jenis kedua (al-nasi’ah) adalah riba yang padanya terdapat tambahan waktu pada salah satu barang yang dipertukarkan dalam jual beli yang ditangguhkan (mu’ajjal).
Jika penangguhan tidak dipersyaratkan, menurut ulama Hanafiah, termasuk dalam jenis jual beli sempurna. Sementara itu, menurut ulama Syafi’iah termasuk dalam kategori riba al-nasi’ah.
(CAA)
Sumber Referensi: Dib Al-Burgha, Dr. Musthafa. 2010. Buku Pintar Transaksi Syariah. Jakarta: Hikmah.