Ketika mendengar kata investasi, tentu saja bagi sebagian besar orang telah memiliki definisinya masing-masing dalam benaknya. Investasi memiliki ragam definisi tergantung dari sudut pandang melihatnya. Secara sederhana investasi didefinisikan sebagai menempatkan uang pada sesuatu hal dengan harapan dapat mendapatkan profit dengan melalui serangkaian analisis, memiliki keamanan terhadap modal yang diinvestasikan maupun keamanan return (timbal balik) dalam jangka waktu tertentu. Berkebalikan dari definisi sederhana ini adalah spekulasi atau judi yakni tanpa adanya analisis, keamanan modal dan timbal balik.
Definisi lain dari investasi adalah kekayaan yang dialokasikan untuk memberikan hasil atau kenaikan nilai. Bisa juga diartikan sebagai tindakan untuk mengembangkan nilai aset yang kita miliki. Hasil investasi umumnya tidak digunakan dalam waktu dekat, lebih pada penggunaan jangka panjang. Robert T. Kiyosaki, seorang penulis buku bestseller, Rich Dad Poor Dad, mendefinisikan investasi sebagai kegiatan untuk mengembangkan aset (hal-hal yang menghasilkan cash inflow atau segala sesuatu yang menjadikan uang masuk dalam kantong kita) dengan berfokus pada pendapatan pasif yang didapatkan dengan investasi peluang. Misalnya, real estate dan bisnis dalam rangka meraih kebebasan finansial. Namun, bagi kebanyakan orang awam, investasi identik dengan menabung tanpa memahami hakikat investasi itu sendiri.
Tindakan melakukan investasi sering kali mengikuti pola pikir manusia. Kreativitas masyarakat akan semakin berkembang dengan kemajuan peradaban. Hal ini memengaruhi investasi, yakni banyak diciptakannya produk-produk investasi yang baru. Dahulu, orang hanya mengenal investasi dengan emas lalu muncul tabungan dan deposito. Selanjutnya, muncul ide untuk memerjualbelikan kepemilikan sebuah usaha, yang kemudian disebut saham. Perkembangan berikutnya, tercetus ide tentang penjualan jasa manajemen investasi yang akhirnya berwujud reksadana.
Bagi masyarakat muslim, makna investasi memiliki kekhasan tersendiri. Dalam sebuah hadits, Sa’ad bin Abi Waqqash menyampaikan, “Pada saat Haji Wada’, Rasulullah saw. Mengunjungiku yang sedang sakit keras. Aku bertanya padanya, ‘Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang memiliki harta yang banyak dan tidak ada yang mewarisi hartaku kecuali anak perempuanku satu-satunya. Jika demikian, bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?’ Nabi saw. Menjawab,’Tidak Boleh’. Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana kalau aku sedekahkan setengah dari hartaku, ya Rasulullah?’ Nabi saw. Menjawab,’Juga tidak boleh’. Aku kembali bertanya, ‘Kalau sepertiga?’ Mendengar itu Nabi saw. bersabda, ‘Kalau sepertiga boleh, dan itu pun sudah banyak. Sebab, seandainya kau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada kau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada manusia…” (HR. Bukhari)
Pelajaran berharga dari hadits tersebut adalah seorang muslim haruslah menjadikan akhirat sebagai orientasi hidupnya. Dengan kata lain, muslim harus menginvestasikan amalan-amalan di dunia dan membawanya kepada kehidupan yang baik di akhirat. Sa’ad bin Abi Waqqash ingin mengharapkan kebaikan akhirat tersebut. Namun, Rasulullah saw. melihat aspek yang lebih luas lagi bagi kehidupan umatnya. Dalam upaya mengejar kebaikan kehidupan akhirat, kita juga tidak harus meninggalkan kebaikan di kehidupan dunia, bagi kita sendiri maupun keturunan kita kelak. Keseimbangan antara kebaikan dunia dan akhirat merupakan makna hakiki dari tindakan berinvestasi bagi seorang muslim.
(CAA)
Sumber Referensi:
Artikel lepas Wikipedia
Artikel Perencanaan Keuangan oleh Safir Senduk
Buku Dinar Solution, Dinar sebagai Solusi karya Muhaimin Iqbal.