Gojek: Kapitalis yang Membunuh Ekonomi Rakyat? Benarkah?
Ketika menulis judul ini, maka saya menyadari, bahwa akan banyak yang merasa marah dan tidak setuju dengan apa yang saya tulis ini.
Kenapa? Sebab, selama ini Go-Jek sudah dibangga-banggakan oleh pejabat negeri ini, bahkan hingga tingkat menteri dan presiden yang sangat mengapresiasi Go-Jek sebagai produk Ekonomi Kreatif anak bangsa.
Sebelum anda memutuskan untuk marah dengan tulisan ini, saya ingin menyampaikan kenapa gojek dianggap kapitalis.
Menurut Ketua Gerakan Beli Indonesia, Bapak Heppy Trenggono, GOJEK ADALAH KAPITALIS MURNI.
Kenapa demikian?
Bukankah Go-Jek adalah sebuah produk kreatif yang patut diapresiasi, dan tidak sedikit cerita di masyarakat yang mengatakan bahwa Go-Jek telah mengangkat kehidupan ekonomi banyak masyarakat di Indonesia?
Apa yang salah dengan Go-Jek dan apa yang salah dengan Kapitalis?
Mari kita urai satu persatu, agar anda bisa memahami, kenapa Go-Jek disebut kapitalis murni.
1. Gojek, Ojek Online Berbasis Aplikasi
Sebagai sebuah terobosan baru dalam hal pemanfaatan teknologi, penemuan aplikasi Gojek tentu harus mendapatkan apresiasi yang tinggi, karena dengan aplikasi tersebut, masyarakat dimudahkan untuk menggunakan jasa ojek secara mudah dan pasti tafirnya.
2. Gojek, sebagai solusi sosial
Dengan hadirnya Gojek, telah terbukti memberikan puluhan ribu lapangan kerja baru bagi masyarakat yang selama ini tidak tertampung oleh dunia kerja saat ini. Kita tentu pernah mendengar kisah seorang ibu yang menjadi pengemudi gojek membawa anak bayinya, dia mampu bertahan hidup karena adanya Gojek.
Kisah-kisah menyentuh dan memeras air mata lainnya juga banyak kita temukan, bagaimana gojek begitu besar manfaatnya, sehingga mampu menjadi tumpuan bagi banyak orang.
Kalau gojek adalah produk kreatif dan bermanfaat bagi banyak orang, kenapa gojek dicap sebagai kapitalis murni?
3. Go-Jek Kapitalis dan bukan Ekonomi Kreatif
Masih menurut Bapak Heppy Trenggono, bahwa Gojek memang perlu mendapatkan apresiasi sebagai aplikasi kreatif buatan anak bangsa. Tetapi yang jadi masalah adalah, Go-Jek menggunakan kekuatan kapital/modal untuk membunuh ekonomi rakyat.
Gojek memberikan subsidi Rp. 10 ribu untuk setiap perjalanan pengantaran penumpang jauh dan dekat. Tentu hal ini menjadi sangat menarik bagi konsumen, selain mereka bisa dengan mudah memesan jasa gojek, mereka mendapatkan kepastian tarif dan masih disubsidi Rp. 10.000!
Pengemudi ojek untung, karena dia dibayar penuh, penumpang untung karena dia mendapatkan kepastian harga dan subsidi.
Dengan strategi Go-Jek ini, maka siapa yang mau pakai Ojek pangkalan? Selain tidak jelas tarifnya juga mahal karena tidak ada subsidi.
Dampaknya, tidak hanya kepada ojek pangkalan, tetapi juga merambat kepada perusahaan-perusahaan taxi, dan angkutan umum lainnya, yang berakibat mereka semakin kesulitan mencari penumpang.
Mungkin anda akan berkata, ini khan resiko bisnis. Bahwa didalam bisnis sudah merupakan hal wajar jika terjadi persaingan. Dan ketika tidak siap dengan persaingan, maka bersiaplah untuk gulung tikar dan ditinggalkan.
Persaingan bisnis adalah hal yang wajar, saya setuju. Bahwa siapa saja yang tidak keratif dan inovatif akan mati, saya juga setuju. Tetapi, yang menjadi masalah disini adalah, Go-Jek dengan kekuatan kapital/modal, dia rela merugi miliaran hanya untuk memberikan subsidi kepada pengguna jasanya. Ojek berbasis aplikasi ini menciptakan persaingan bisnis yang tidak sehat.
Apakah ini adalah tindakan yang mulia?
Mari pahami betul, dengan cara perusahaan ini memberikan subsidi dan siap merugi hingga beberapa waktu kedepan, mereka sebenarnya Go-Jek sedang mematikan ojek pangkalan, juga moda transportasi lainnya.
Setelah pesaing-pesaingnya mati karena tidak mampu bersaing dengan gojek, maka perusahaan ini akan menguasai / memonopoli pasar.
Menurut Pak Heppy, dengan kekuatan modal ini, setelah perusahaan ini sukses mematikan pesaing-pesaingnya, baik ojek pangkalan maupun moda transportasi lain, maka mereka akan melepas saham ke Capital Market. Maka, kemungkinan besarnya, yang memiliki kekuatan kapital yang sangat besar ini lagi-lagi adalah asing.
Jika saham sudah dilepas, Go-Jek sudah memonopoli, tentu saja bisa dengan sesukanya menentukan tarif. Sebagai sebuah perusahaan, tentu tidak mau terus merugi, tentu orientasinya adalah keuntungan. Sehingga, tarif bisa dipasang berapapun, dan masyarakat tidak bisa menolak.
Jika nanti muncul pesaing baru dengan tarif murah, tentu gojek dengan kekuatan kapitalnya akan mampu kembali memberikan subsidi, hingga pesaingnya tersebut tidak berkutik lagi.
Itulah, mengapa gojek disebut sebagai Kapitalis Murni, bukan Ekonomi Kreatif seperti yang didengung-dengungkan selama ini! Sebab perusahaan ini melakukan penguasaan pasar dengan cara tidak sehat, menggunakan kekuatan modal, untuk mematikan pesaingnya.
Jika anda menyetujui dan menganggap hal wajar terjadinya persaingan dengan kekuatan kapitalisme/modal, maka negeri ini, nantinya hanya akan dikuasai oleh segelintir orang saja.
Anda tidak punya modal? Atau modal anda kecil? Maka bersiaplah anda akan mati dilindas oleh kapitalisme!
Indonesia bukan negeri kapitalis, Indonesia adalah negeri PANCASILA yang pasal 5 menyebutkan bahwa KEADILAN SOSIAL adalah hak bagi seluruh rakyat Indonesia!
Jika Indonesia adalah negeri kapitalis, maka Go-Jek dan semacamnya “halal” menyingkirkan pesaing-pesaing bisnisnya dengan kekuatan modal.
Go-Jek bisa menjadi produk kreatif sekaligus ekonomi kreatif, jika gojek tidak menggunakan kekuatan kapital dalam persaingan bisnis, tetapi menggunakan persaingan sehat didalam mengelola bisnisnya.
Lebih lengkapnya, penjelasan tentang Gojek, bisa anda buka wawancara dengan Ketua Gerakan Beli Indonesia Bapak Heppy Trenggono berikut ini:
Semoga Informasi ini memberikan pencerahan kepada masyarakat, tentang bahaya dari kapitalisme.
Silakan BAGIKAN Informasi ini untuk saling menyadarkan bahaya kapitalisme global dengan dalih pasar bebas.
Sumber Tulisan: