DEFINISI JUAL BELI
Pengertian jual beli secara etimologis adalah menukar harta dengan harta. Sedangkan secara terminologis berarti transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Sengaja diberi pengecualian ”fasilitas” dan ”kenikmatan”, agar tidak termasuk di dalamnya penyewaan dan menikah (Al-Mushlih, 2004).
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan). Sedangkan menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Majmu’, didefinisikan sebagai pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.
DALIL HUKUM JUAL BELI
1. Al-Qur’an
Dalil hukum jual beli di dalam Al-Qur’an, di antaranya terdapat pada ayat-ayat berikut ini:
- “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah:275)
- ”Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli.” (QS Al-Baqarah:282)
- ”Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka.” (QS An-Nisa’:29)
- ”Mereka mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi.” (QS Al-Fathir:29)
2. As-Sunah
Di dalam As-sunah, disyariatkannya jual beli terdapat pada hadits-hadits berikut:
- Rasulullah SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, ”Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari tipu menipu dan merugikan orang lain.
- ”Jual beli harus dipastikan saling ridha.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah)
3. Ijma’
Dalil dibolehkannya jual beli menurut Ijma’ ulama adalah ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
KLASIFIKASI JUAL BELI
Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Di antara klasifikasi tersebut adalah:
1. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Obyek Dagangan
- Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
- Jual beli ash-sharf atau money changer, yaitu penukaran uang dengan uang.
- Jual beli muqayadhah atau barter, yaitu menukar barang dengan barang.
2. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Pembayaran
- Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.
- Jual beli dengan pembayaran tertunda.
- Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
- Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.
3. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga
- Jual beli bargainal (tawar-menawar). Yakni jual beli di mana penjual tidak memberitahukan besarnya modal dari barang yang dijualnya.
- Jual beli amanah. Yakni jual beli di mana penjual memberitahukan harga modal dari barang jualannya. Dengan dasar jual beli ini, jenis jual beli tersebut terbagi lagi menjadi tiga jenis:
- Jual beli murabahah. Yakni jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.
- Jual beli wadhi’ah. Yakni jual beli dengan harga di bawah modal dan jumlah kerugian yang diketahui.
- Jual beli tauliyah. Yakni jual beli dengan menjual barang dalam harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian.
- Jual beli muzayadah (lelang). Yakni jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut. Kebalikan dari jual beli lelang ini adalah jual beli munaqadhah (obral). Yakni si pembeli menawarkan diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual berlomba menawarkan dagangannya, kemudian si pembeli akan membeli dengan harga termurah yang mereka tawarkan.
RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Dalam menetapkan rukun jual beli, di antara ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut Ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridla, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama yaitu:
- Bai’ (penjual)
- Mustari (pembeli)
- Shighat (ijab dan qabul)
- Ma’qud ’alaih (benda atau barang)
Al-Mushlih menguraikan tentang syarat jual beli yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku serta syarat yang berkaitan dengan obyek jual belinya.
Syarat jual beli yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku:
Pihak-pihak pelaku harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni dalam kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila, atau orang yang dipaksa.
Syarat jual beli yang berkaitan dengan obyek jual belinya:
1. Obyek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak. Tidak sah memperjualbelikan barang najis atau barang haram seperti darah, bangkai, dan daging babi. Karena benda-benda tersebut menurut syariat tidak dapat digunakan. Di antara bangkai, tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan belalang. Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati dan limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan demikian.
Juga tidak sah menjual barang yang belum menjadi hak milik, karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap itu. Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli as-salm. Yakni sejenis jual beli dengan menjual barang yang digambarkan kriterianya secara jelas dalam kepemilikan, dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi barang diserah-terimakan belakangan. Karena ada dalil yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini.
Tidak sah juga menjual barang yang tidak ada atau yang berada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya seperti menjual malaqih, madhamin, atau menjual ikan yang masih dalam air, burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih adalah anak yang masih dalam tulang sulbi pejantan. Sedangkan madhamin adalah anak yang masih dalam tulang dada hewan betina. Adapun jual beli fudhuliy yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan orang yang diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal tidak ada pemberian surat kuasa dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual beli jenis ini. Namun, yang benar adalah tergantung dari izin pemilik barang.
2. Mengetahui obyek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar tidak terkena faktor ”ketidaktahuan” yang bisa termasuk ”menjual kucing dalam karung”, karena hal itu dilarang.
3. Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah menjual barang untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui. Seperti orang yang menjual rumahnya kepada orang lain dengan syarat apabila sudah dibayar, maka jual beli itu dibatalkan. Ini disebut dengan ”jual beli pelunasan (bai’ wafa’)”.
Dalam masalah sighat (ijab dan qabul), para ulama fiqh berbeda pendapat, di antaranya berikut ini:
- Menurut ulama Syafi’iyah, tidak sah akad jual beli kecuali dengan sighat (ijab Qabul) yang diucapkan.
- Imam Malik berpendapat bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja.
- Pendapat ketiga ialah penyampaian akad dengan perbuatan atau disebut juga dengan aqad bi al-mu’athah yaitu: mengambil atau memberikan dengan tanpa perkataan (ijab qabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual, dan memberikan uangnya sebagai pembayaran.
KHIYAR DALAM JUAL BELI
Akad yang sempurna harus terhindar dari khiyar, yang memungkinkan aqid (orang yang berakad) membatalkannya. Pengertian khiyar menurut ulama fiqh adalah, ”Suatu keadaan yang menyebabkan akid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ’aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar ta’yin.”
Dalam jual beli, menurut agama Islam dibolehkan memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau akan membatalkannya. Khiyar dibagi menjadi:
1. Khiyar Majelis; artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis), khiyar majelis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli. Rasulullah saw bersabda: penjual dan pembeli boleh khiyar selama belum berpisah (HR Bukhari dan Muslim). Bila keduanya telah berpisah dari tempat akad tersebut, maka khiyar majelis tidak berlaku lagi.
2. Khiyar Syarat, yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun pembeli. Rasulullah bersabda: Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam (HR. Baihaqi).
3. Khiyar ’Aib, artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli. Seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Aisyah ra. bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh berdiri di dekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu diadukannya kepada Rasulullah saw., maka budak itu dikembalikan kepada sang penjual.
4. Khiyar Ta’yin, yaitu hak pilih yang dimiliki oleh pembeli untuk menentukan sejumlah benda sejenis dan sama harganya. Keabsahan khiyar ini menurut Hanafiyah harus memenuhi 3 syarat yaitu:
- Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek
- Barang yang dibeli setara dan seharga
- Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih dari 3 hari
5. Khiyar Ru’yah, yaitu hak pilih pembeli untuk membatalkan atau melangsungkan akad ketika ia melihat barang yang akan dijual; dengan catatan ia belum melihatnya ketika berlangsung akad. Jadi, akad jual-beli tersebut telah terjadi ketika barang tersebut belum dilihat oleh pembeli. Konsep khiyar ini dikemukakan oleh Fuqaha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib atau belum pernah diperiksa oleh pembeli. Sedangkan Imam Syafi’i membantah keberadaan khiyar ru’yah ini, karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib sejak semula sudah tidak shah.
BADAN PERANTARA (SAMSARAH)
Badan perantara dalam jual beli disebut juga simsar atau samsarah, yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasar bahwa orang itu akan diberi upah oleh yang punya barang sesuai dengan usahanya. Dalam satu riwayat Bukhari dijelaskan: ”Dari Ibnu Abbas ra., dalam perkara simsar ia berkata tidak apa-apa, kalau seseorang berkata juallah kain ini dengan harga sekian, lebih dari penjualan itu adalah untuk engkau.” Kelebihan yang dinyatakan dalam keterangan di atas adalah:
- Harga yang lebih dari harga yang telah ditetapkan penjual barang itu, dan
- Kelebihan barang setelah dijual menurut harga yang telah ditentukan oleh pemilik barang tersebut.
Orang yang menjadi simsar dinamakan pula komisioner, makelar, atau agen, tergantung persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan menurut hukum dagang yang berlaku. Walaupun namanya bermacam-macam: simsar, komisioner, dan lain-lain, namun mereka bertugas sebagai badan perantara dalam menjualkan barang-barang dagangan, baik atas namanya sendiri, maupun atas nama perusahaan yang memiliki barang tersebut. Dalam agama, perdagangan secara simsar diperbolehkan asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi penipuan dari satu pihak atas pihak yang lain.
LELANG (MUZAYADAH)
Jual beli muzayadah adalah jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut. Dari larangan terhadap penawaran barang yang masih dalam penawaran orang lain, dikecualikan pada jenis jual beli pelelangan ini. Pelelangan boleh dilakukan berdasarkan ijma’ (konsensus kaum muslimin).
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya jual beli muzayadah (lelang) adalah:
1. Hadits Anas bin Malik ra. yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang datang menemui Nabi SAW dan ia meminta sesuatu kepada beliau.
Beliau bertanya kepadanya, ”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?”
Lelaki itu menjawab, ”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.”
Beliau berkata, ”Kalau begitu bawalah kedua barang itu kepadaku.”
Lelaki itu datang membawanya. Rasulullah SAW bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?”
Salah seorang sahabat beliau menjawab, ”Saya mau membelinya dengan satu dirham.”
Beliau bertanya lagi, ”Ada yang mau membelinya dengan harga yang lebih mahal?”
Beliau menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau yang lain berkata, ”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka beliau memberikan kedua barang itu kepadanya. Beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut.
Beliau berkata, ”Gunakanlah yang satu dirham untuk membeli makanan dan berikan kepada keluargamu. Lalu gunakan yang satu dirham lagi untuk membeli kapak, lalu bawa kapak itu ke hadapanku.” Lelaki itu pun pergi dan kembali lagi dengan membawa sebilah kapak.
Nabi menggunakan kapak itu untuk membelah kayu dengan tangan beliau sendiri, lalu beliau berkata, ”Pergi lalu carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan perlihatkan dirimu selama lima belas hari!” Lelaki itu pun pergi mencari kayu bakar dan menjualnya.
2. Dalam hadits yang lain juga terdapat keterangan tentang kebolehan penjualan dengan cara lelang ini. Seperti hadits dari Anas ra., dia berkata, Rasulullah SAW menjual sebuah pelana dan sebuah mangkok air dengan berkata, “Siapa yang mau membeli pelana dan mangkok ini?”
Seorang laki-laki menyahut, “Aku bersedia membelinya seharga satu dirham.”
Lalu Nabi berkata lagi, “Siapa yang berani menambahi?”
Maka diberi dua dirham oleh seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-laki tadi (HR Tirmidzi).
JUAL BELI KHUSUS
1. BAI’ AL-’INAH
’Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Misalnya, si fulan melakukan ‘ain. Yakni, membeli sesuatu dengan tertunda atau berhutang. Atau menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya lagi dengan harga lebih murah dari harga penjualan. Jual beli ini disebut ‘inah karena si pemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah ‘ain (uang). Atau karena si penjual kembali memiliki ‘ain (benda) yang dia jual. Menurut terminologi ilmu fiqh, bai’ al-‘inah diartikan dengan jual beli manipulatif untuk digunakan alasan peminjaman uang yang dibayar lebih dari jumlahnya. Yakni dengan cara menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih murah.
Para ulama bersepakat bahwa hukum bai’ al-‘inah ini diharamkan bila terjadi melalui kesepakatan dan persetujuan bersama, dalam perjanjian pertama untuk memasukkan perjanjian kedua ke dalamnya. Namun para ulama berbeda pendapat bila tidak terjadi kesepakatan sebelumnya. Di sini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: haram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Di antara dalil-dalil mereka dalam menetapkan keharamannya yaitu:
a. Riwayat Atha dari Ibnu Umar ra., bahwa ia menceritakan, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalau manusia sudah menjadi kikir gara-gara uang (dinar dan dirham), sudah mulai melakukan jual beli ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, pasti Allah akan menurunkan bencana kepada mereka, dan bencana itu tidak akan dihilangkan sebelum mereka kembali kepada agama mereka.” (HR Ahmad dalam Musnadnya)
Indikasi hadits terhadap haramnya jual beli ini amat jelas. Karena berjual beli dengan sistem ‘inah merupakan salah satu sebab turunnya bencana.
b. Dalil lain tentang larangan bai’ al-‘inah yaitu, apa yang diriwayatkan oleh Imam ad- Duruquthni dan al-Baihaqi dari Abu Ishaq, dari istrinya Aliyyah bahwa ia pernah menemui Aisyah ra. bersama dengan Ummu Walad Zaid bin Arqam serta seorang wanita lain. Ummu Walad Zaid berkata, ”Aku pernah menjual budak kepada Zaid seharga delapan ratus dirham dengan pembayaran tertunda. Dan aku membelinya kembali seharga enam ratus dirham kontan.” Aisyah berkata, ”Sungguh tidak bagus cara engkau berjualan dan cara engkau membeli. Katakan kepada Zaid, bahwa ia telah membatalkan pahala jihad dan hajinya bersama Rasulullah, kecuali kalau ia bertaubat!” Wanita itu berkata, ”Bagaimana kalau yang kuambil hanya modalku saja?” Aisyah menjawab, ”Allah berfirman: Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).” (Al-Baqarah:275)
Indikasi hadits di atas terhadap pelarangan bai’ al-‘inah sangat jelas. Diriwayatkan oleh Abu Daud 3456. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi V:325. Namun dalam sanadnya terdapat Atha al-Khurasani ia perawi yang lemah. Ia meriwayatkan dari Ishaq bin Usaid al-Khurasani, yang juga tidak diketahui identitasnya. Demikian dinyatakan oleh Abu Ahmad dan al-Hakim. Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Iyyasy, dari al-A’masy. Dikeluarkan oleh Ahmad (4875 cet. Syakir) Ibnu Iyyasy ini juga lemah, ia menjadikan riwayat ini dari Atha bin Abi Rabbah. Lihat Sunah al-Baihaqi V:316 dan juga Nashbur Raayah IV:16 dan juga asy-Syarhul Kabir terhadap al-Muqni’ IV:54.
c. Dalam riwayat yang lain juga diuraikan tentang keharaman jenis jual beli ini. Seperti yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra., bahwa ia pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menjual sehelai sutera kepada orang lain seharga seratus dirham. Kemudia ia membelinya kembali seharga lima puluh dirham saja secara kontan. Ibnu Abbas menjawab, ”Itu artinya menjual dirham dengan dirham secara berbunga, namun mediatornya adalah sehelai sutera.”
d. Dalam riwayat lain dari Anas bin Malik ketika ditanya tentang jual beli ‘inah—yakni dengan sutera sebagai mediatornya—beliau menjawab, ”Sesungguhnya Allah tidak mungkin dikelabuhi. Itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” Apabila seorang sahabat Nabi mengatakan, ”Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya,” demikian juga jika dia mengatakan, ”…diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya,” maka hukumnya seperti hadits marfu’, yakni yang berasal dari Nabi SAW langsung.
Pendapat kedua, boleh. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i, Abu Yusuf, dan azh-Zhahiriyah. Dalil yang digunakan sebagai dasar yaitu:
a. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanadnya bahwa ada seorang lelaki yang pernah menjual pelana kuda namun tidak mengambil langsung bayarannya. Pemilik pelana baru yang membeli pelana itu darinya, berencana menjualnya kembali. Orang yang menjual pelana tadi mau membelinya dengan harga yang lebih murah. Persoalan itu ditanyakan kepada Ibnu Umar, namun beliau menganggap jual beli itu sah-sah saja. Ibnu Umar berkata, ”Bisa jadi kalau ia menjualnya kepada orang lain, ia juga akan menjualnya dengan harga itu, atau bahkan lebih murah lagi.”
b. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi bahwa ada seorang lelaki yang menjual unta kepada orang lain dengan pembayaran tertunda, lalu ia berkata, ”Berikan kembali kepadaku untamu itu, dan akan kubayar kontan tiga puluh dirham.” Mereka menanyakan persoalan itu kepada Syuraih, dan beliau menganggap hal itu tidak menjadi masalah.
Kedua hadits yang membolehkan bai’ al-‘inah dari Ibnu Umar dan Syuraih tersebut bertentangan dengan keempat hadits sebelumnya yang melarang jual beli ‘inah, yang salah satu perawinya juga terdapat Ibnu Umar.
Kesimpulan dari pemaparan di atas adalah bahwa praktek jual beli ‘inah dilarang. Hal ini untuk menutup jalan menuju riba, dan memutus jalan bagi orang-orang yang suka membuat penyamaran terhadap bentuk usaha haram, agar tujuan mereka tidak tercapai.
2. BAI’ WAFA’
Jual beli wafa’ adalah jual beli dengan persyaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Di mana terjadi perjanjian kapan penjual mengembalikan uang si pembeli, dan si pembeli juga akan mengembalikan uang si penjual. Disebut juga jual beli wafa’ (pelunasan) karena ada semacam perjanjian dari pembeli untuk melunasi hak si penjual, yakni mengembalikan barangnya jika si pembeli mengembalikan uang bayarannya.
Bentuk jual beli ini terjadi pertama kali di Bukhara dan Balkh pada awal abad ke lima hijriyah. Yang menjadi pemicunya adalah karena kebanyakan orang yang berharta tidak mau meminjamkan uangnya secara baik, sementara mereka merasa berat melakukan riba, di sisi lain orang banyak membutuhkan harta. Oleh sebab itu, mereka mencari jalan keluar yang dianggap dapat merealisasikan kemaslahatan kedua belah pihak.
Manfaat bagi penjual karena bisa mendapatkan uang yang dia inginkan tanpa harus terpaksa menjual barangnya—yang bisa jadi dia niatkan secara sungguh-sungguh agar tidak keluar dari kepemilikannya. Manfaat dari pembeli adalah dapat mengembangkan hartanya, namun jauh dari lingkaran perbuatan riba yang terang-terangan.
Dalam bai’ wafa’ ini terkandung berbagai macam improvisasi hukum jual beli dan hukum pegadaian. Di dalam jual beli itu terkandung hukum-hukum jual beli. Misalnya, si pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya dengan penggunaan dan pemanfaatan yang benar. Ia bisa menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa izin si penjual.
Jual beli itu juga mengandung hukum-hukum pegadaian, seperti tidak adanya hak pembeli untuk mengonsumsi barang dagangan atau memindahkan kepemilikannya kepada orang lain. Barang itu juga tidak bisa dipakai untuk syuf’ah, dan biaya perawatannya menjadi tanggungan si penjual. Pembeli juga harus menjaga komitmen untuk mengembalikan barang itu apabila si penjual telah mengembalikan uang pembayarannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa’ ini:
- Ada di antara ulama yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah karena dibutuhkan. Kebutuhan kadang bisa menempati kedudukan (sama hukumnya dengan) kondisi darurat.
- Di antara mereka ada yang menganggapnya sebagai pegadaian yang sah, sehinggga hukum-hukum pegadaian berlaku di dalamnya.
- Di antara ulama juga ada yang menganggapnya sebagai jual beli yang rusak, karena adanya syarat saling mengembalikan.
- Ada juga di antara ulama yang memandangnya sebagai jual beli model baru yang menggabungkan antara jual beli sah, jual beli rusak, dan pegadaian. Namun tetap dianggap sebagai jual beli yang disyariatkan karena dibutuhkan.
Namun sesungguhnya jual beli semacam ini tidak dibenarkan, karena tujuan yang sebenarnya adalah riba. Yakni, dengan cara memberikan uang untuk dibayar secara tertunda. Sementara itu, fasilitas penggunaan barang yang digunakan dalam perjanjian dan sejenisnya adalah keuntungannya. Namun sebutan sebagai jual beli pelunasan atau jual beli amanah tidak lepas dari jual beli seperti itu karena yang dilihat adalah hakikat dan tujuan sesungguhnya dari jual beli tersebut, bukan bentuk aplikatif dan tampilan lahiriyahnya saja.
Ibnu Taimiyah menyatakan, ”Sejenis jual beli yang mereka perlihatkan yang disebut jual beli amanah yang dalam jual beli itu mereka bersepakat, bahwa apabila telah dikembalikan pembayaran si penjual, barang juga dikembalikan, adalah jual beli batil menurut kesepakatan para imam, baik dengan persyaratan yang disebutkan dalam waktu akad atau melalui kesepakatan sebelum akad. Itu pendapat yang tepat dari para ulama.”
3. BAI’ TAQSITH
Bai’ taqsith adalah jual beli secara cicilan dalam jangka waktu tertentu. Di dalamnya, harga kontan berbeda dengan harga secara cicilan. Jual beli ini dapat mendatangkan manfaat bagi pembeli dan penjual, serta sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Karena konsumen atau pembeli bisa mendapatkan barang yang dibutuhkannya, meskipun ia tidak memiliki uang yang cukup untuk memilikinya secara kontan (bayaran penuh).
Praktek bai’ taqsith dibolehkan menurut pendapat Jumhur ulama, yaitu Imam mazhab yang empat serta jamaah ulama salaf, di antaranya adalah Abdullah bin Abbas, Said bin Musayyab, Thawus bin kaisan, Al-Auza’iy, ‘Atha’, Qatadah, Az-Zuhry, Ats-Tsaury, An- Nakha’iy, Hakam bin ‘Utaibah, dan Hammad bin Abi Sulaiman. Zainal Abidin bin Ali bin Al-Husein dan Jashshas dari Hanafiyah mengharamkan bai’ taqsith, karena menambah harga sebagai konsekuensi dari penambahan masa adalah termasuk riba nasi’ah. Dalil mereka adalah Hadits Nabi, “Siapa yang menjual dua jual beli dalam satu jual beli, maka haknya adalah harga yang terendah, atau (jika harga yang lebih tinggi), maka menjadi riba.” (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah).
Namun, hadits tersebut adalah dha’if, maka tidak bisa dijadikan hujjah. Perbedaan harga cicilan dari harga kontan, bukan termasuk riba. Itu merupakan keuntungan dalam jual beli barang sebagai kompensasi tertahannya hak penjual dalam jangka waktu tertentu. Aplikasi bai’ taqsith dapat mendatangkan kemudahan (taysir) bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, karena banyak orang tidak mampu menyerahkan harga secara menyeluruh. Tetapi dengan cicilan, ia bisa memanfaatkan dan memiliki barang yang dibutuhkan.
4. IHTIKAR
Definisi ihtikar yaitu melakukan penimbunan barang dengan tujuan spekulasi, sehingga ia mendapatkan keuntungan besar di atas keuntungan normal. Bisa juga dia menjual hanya sedikit barang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, sehingga mendapatkan keuntungan di atas keuntungan normal. Rasulullah SAW telah melarang praktik penimbunan ini. Dalam sebuah hadits dari Ma’mar bin Abdullah bin Fadhlah, katanya, Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ”Tidak melakukan ihtikar kecuali orang yang bersalah (berdosa)”. (H.R.Tarmizi)
5. TALAQQI RUKBAN
Talaqqi rukban adalah mencegat barang sebelum masuk pasar sehingga membeli di bawah harga pasar. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah kalian melakukan talaqqi rukban, jangan pula sebagian di antara kalian menjual atas jualan orang lain, dan jangan kalian melakukan najasy, serta janganlah orang kota menjual kepada orang desa.” (Muttafaq ’alaih).
Praktik ini adalah sebuah perbuatan seseorang di mana dia mencegat orang-orang yang membawa barang dari desa dan membeli barang itu sebelum tiba di pasar. Rasulullah SAW melarang praktik semacam ini dengan tujuan mencegah terjadinya kenaikan harga. Rasulullah memerintahkan persediaan barang-barang hendaknya dibawa langsung ke pasar, sehingga para penyuplai barang dan para konsumen bisa mengambil manfaat dari adanya harga yang sesuai dan alami.
“Janganlah kalian menemui para kafilah di jalan (untuk membeli barang-barang mereka dengan niat membiarkan mereka tidak tahu harga yang berlaku di pasar), seorang penduduk kota tidak diperbolehkan menemui penjual di desa. Dikatakan kepada Ibnu Abbas: “Apa yang dimaksud dengan larangan itu?” Ia menjawab: ”Tidak menjadi makelar mereka.” (HR.Muslim)
Praktik perdagangan seperti ini dapat menimbulkan tekanan bagi penjual di desa dan juga pembeli di kota, sehingga harga semakin melambung tinggi. Praktik ini telah dilarang oleh Rasulullah SAW.
MARAJI’:
- Ad-Duwaisy, Ahmad bin Abdurrazzaq. 2004. Fatwa-Fatwa Jual Beli. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’i.
- Al-Jaziri, Abdurrahman.____. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Sar al-Qalam.
- Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.
- Muslim, Imam. 1998. Shahih Muslim: Bab Buyu’. Riyadh: Darus Salam.
- Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
- Syafi’i, Rahmat. 1999. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
- ___________Syahatah, Husain, dan Siddiq Muh Al-Amin adh-Dhahir. 2005. Transaksi dan Etika Bisnis Islam. Jakarta: Visi Insani Publising.
Lisensi Dokumen:
Copyright © 2008 ekonomi-syariah.com
Seluruh dokumen di ekonomi-syariah.com dapat digunakan, dimodifikasi dan disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan syarat tidak menghapus atau merubah atribut penulis dan pernyataan copyright yang disertakan dalam setiap dokumen. Tidak diperbolehkan melakukan penulisan ulang, kecuali mendapatkan ijin terlebih dahulu dari ekonomi-syariah.com.
(CAA)