Arena pertarungan yang seringkali diperselisihkan dalam masyarakat kita adalah antara investasi dan konsumsi. Dua hal yang bertolak belakang dan memiliki pendukung tersendiri. Perencanaan finansial bagi banyak orang, terutama masyarakat kita masih terdengar asing. Masyarakat tidak terbiasa dengan kondisi sadar finansial. Contohnya sebagai berikut, sebuah keluarga A berdomisili di daerah perkotaan. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak. Pendapatan utama keluarga ini berasal dari kepala keluarga yang bekerja sebagai salah satu manajer di perusahaan telekomunikasi. Pendapatan sampingan juga diperoleh dari ibu yang bekerja di salah satu minimarket. Total pendapatan keluarga ini per bulannya mencapai 10 juta rupiah. Dua anak mereka berstatus pelajar, anak pertama pelajar SMA sedangkan si bungsu SMP.
Kehidupan sehari-hari mereka dijalani tanpa adanya perencanaan finansial. Kepala keluarga memiliki cicilan mobil dan rumah yang mengambil porsi hampir 30 persen dari pendapatan total rumah tangga. Pengeluaran rutin untuk belanja sehari-hari menempati porsi 50 persen sedangkan sisanya adalah untuk biaya pendidikan anak mereka. Arus kas keluarga A seperti sungai yang mengalir deras. Aliran dari hulu mengalir cepat ke laut.
Keluarga ini belum memikirkan bagaimana perencanaan keuangan masa depan mereka. Mereka tidak menyisihkan sebagian porsi penghasilan total untuk ditabung apalagi diinvestasikan. Mereka lebih banyak mengeluarkan uang pada hal-hal yang konsumtif. Pendapatan rumah tangga banyak mengalir untuk membiayai gaya hidup hura-hura. Suatu saat, kepala rumah tangga mengalami musibah. Dia dipecat dari perusahaannya. Dia hanya menerima uang pesangon. Otomatis pembiayaan hidup sehari-hari bergantung pada istrinya yang tidak seberapa. Pesangon pun hanya bisa meng-cover keuangan untuk jangka waktu pendek. Akhirnya, mereka terjerat hutang yang lama-kelamaan menghancurkan keluarga mereka.
Sementara itu, keluarga B adalah keluarga kecil terdiri dari kepala keluarga, istri, dan 2 anak juga. Perbedaannya, keluarga B merupakan keluarga yang sadar bagaimana merencanakan dan mengelola keuangan rumah tangga. Kepala keluarga bekerja sebagai manajer di perusahaan dan istrinya juga bekerja. Pendapatan total rumah tangga tiap bulan 9 juta rupiah. Setiap bulan, keluarga ini mengeluarkan pembayaran sebesar 20 persen untuk cicilan rumah. Pos belanja sehari-hari dianggarkan hanya 40 persen, 20 persen untuk pendidikan anak-anak, sedangkan sisanya 15 persen diinvestasikan pada beberapa produk investasi dan 5 persen dialokasikan untuk amal sedekah.
Bertahun-tahun mereka sabar mengalokasikan secara rutin untuk berinvestasi. Hal ini menyebabkan pendapatan pasif melampaui pendapatan aktif yang mereka dapatkan dari bekerja. Suatu ketika, keluarga ini mendapatkan musibah. Mereka kehilangan pendapatan aktif dari pekerjaannya. Akan tetapi, keluarga ini tidak merasa gusar. Mereka masih bisa hidup sewajarnya dari pendapatan hasil investasi bertahun-tahun.
Dua gambaran keluarga di atas adalah contoh sketsa sederhana yang terjadi di dalam masyarakat kita. Banyak dari kita yang masih belum memahami dan melakukan apa yang disebut sadar finansial. Kita lebih tergoda untuk memuaskan keinginan-keinginan lebih dari apa yang dibutuhkan. Pengeluaran untuk konsumsi terkadang berlebihan sehingga tanpa terkontrol menguras kantong kita. Konsumsi berlebihan memang bisa menyenangkan walaupun efeknya sesaat. Di sisi lain, investasi merupakan perilaku yang tidak bisa memuaskan dalam jangka pendek.
Investasi ditujukan untuk memberikan kebahagiaan jangka panjang. Investasi membuka ruang lebih luas terhadap masa depan yang lebih baik. Jika Anda adalah orang yang memimpikan kebebasan finansial di masa depan, maka cermatlah terhadap kondisi keuangan Anda saat ini dengan melakukan perencanaan dan pengelolaan dengan bijak. Bersahabatlah dengan investasi dengan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan Anda. Semoga Anda bisa mewujudkan mimpi-mimpi Anda di masa depan.
Selamat Berinvestasi!
(CAA)